03.26
Pengakuan Bandit Ekonomi
imanuel
Sang Bandit Menemukan NuraniJUDUL BUKUPengakuan Bandit Ekonomi, Kelanjutan Kisah Petualangannya di Indonesia&Negara Dunia KetigaPENULISJohn PerkinsPENERJEMAHWawan Eko Yulianto & Meda SatrioPENERBITUfuk Press, JakartaCETAKANAgustus 2007TEBALxxvi + 465 Halaman“Dalam buku terbarunya The Secret History of the American Empire (diterjemahkan menjadi Pengakuan Bandit Ekonomi oleh Ufuk Press) Perkins lebih telanjang membuka kedok bandit ekonomi. Segala cara ditempuh, mulai perempuan hingga pembunuhan”.(Indo Pos, 18 November 2007)ALKISAH, pada 1971, seorang ekonom yang bekerja pada MAIN Boston diutus untuk mengkaji ke-mungkinan pemerintah Soeharto mendapatkan bantuan dana dari Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia (ADB) dan badan pemberi bantuan AS (USAID). Lembaga konsultan ini diorder mengembangkan sistem kelistrikan terpadu yang dapat dimanfaatkan Soeharto dari kroninya menggerakkan industrialisasi, menambah kekayaan dan memastikan dominasi Ame-rika Serikat di Indonesia.Di mata Washington saat itu, Jakarta merupakan "pagar" untuk menahan meluasnya paham komunisme di Asia Tenggara. Posisi politik Soeharto yang keras terhadap komunisme segaris dengan kebijakan politik Amerika. Apalagi Indonesia sangat strategis, terutama untuk memasok kebutuhan minyak negeri Paman Sam. Pre-siden Richard M. Nixon meng-inginkan Soeharto melayani Washington seperti halnya Shah Pahlevi di Iran yang melenggang ke tampuk kekuasaan Iran setelah Mossadegh digulingkan.Ekonom ini dibantu jaringannya di birokrasi berhasil menjerat Soeharto. Dolar pun deras masuk ke tanah air, sehingga membikin Indonesia terjerembab utang luar negeri. Kompensasinya Soeharto memberikan kontrak karya dengan sistem PSA (profit sharing agreement) kepada korporasi asal AS. Hingga saat ini, perusahaan seperti Freeport McMoran hingga ExxonMobil menikmati sumber daya alam Indonesia mulai Aceh, Papua hingga Blok Cepu. Dolar yang dibawa pulang korporasi AS. Itu jauh lebih tebal ketimbang yang masuk ke kas pemerintah.Begitulah sepak terjang John Perkins, seorang the ecomic hitman (bandit ekonomi) yang menyebut "Indonesia adalah korban pertama saya. Bandit ekonomi adalah "umpan" untuk membuka proyek-proyek yang didanai Bank Dunia, IMF dan lembaga keuangan lain di negara-negara berkembang. Tentu saja tak ada "makan siang gratis", karena negara tersebut wajib memberikan proyek itu kepada korporasi-korporasi Amerika Serikat. Dus, mengamankan kepentingan AS dari menyewakan lokasi untuk pangkalan militer atau mendukung negeri adidaya itu dalam voting di Dewan Keamanan PBB. Ringkas-nya, bandit ekonomi mengabdi pada tujuan membangun imperium Amerika.Dalam buku terbarunya The Secret History of the American Empire (diterjemahkan menjadi Pengakuan Bandit Ekonomi oleh Ufuk Press) Perkins lebih telanjang membuka kedok bandit ekonomi. Segala cara ditempuh, mulai perempuan hingga pembunuhan. Yang terakhir ini adalah operasi khusus yang dikerjakan para "srigala" dukungan CIA (Dinas Rahasia Amerika). Perkins menyebut me-reka "jackal", seorang yang melakukan perbuatan terlarang atau melanggar hukum atas perintah orang lain. Korbannya berderet dan terbesar adalah pemimpin-pemimpin Afrika. Tersebutlah Presiden Ekuador Jaimes Roldos, Presiden Panama OmarTorrijos atau pejuang lingkungan Nigeria Saro Wiwa.Perkins memperpanjang "pengakuan dosa"-nya dalam buku ini. Paling tidak 23 negara di Asia, Amerika Latin, Timur Tengah, dan Afrika. Akibat kerja bandit ekonomi itu, kini lebih dari separo populasi dunia harus bertahan hidup dengan kurang dari 2 dolar sehari (jumlah itu kira-kira sama dengan penghasilan riil yang mereka peroleh pada tiga puluh tahun lalu). Lebih dari dua miliar penduduk dunia tak memiliki akses ke fasilitas-fasilitas mendasar, termasuk listrik, air bersih, sanitasi, hak atas tanah, telepon, polisi, dan perlindungan dari kebakaran.Data fiktif para bandit ekonomi menyumbang atas kegagalan proyek-proyek yang disponsori Bank Dunia, antara 55-60 persen versi penelitian Joint Economic Comittee dalam Kongres AS. Sebaliknya, biaya cicilan utang Dunia Ketiga lebih besar daripada keseluruhan pengeluaran mereka untuk kesehatan dan pendidikan. Utang Dunia Ketiga pun melonjak hingga mendekati empat triliun dolar AS.Yang membedakan dengan Confession of an Economic Hitman, buku pertamanya, Perkins kini lebih banyak mengeksploitasi nurani yang diacuhkannya sejak ia menerima tawaran Claudine, mentornya di MAIN Boston, menjadi bandit ekonomi pada usia 26 tahun. Di bab-bab akhir buku ini, Perkins tersentuh saat menyaksikan rakyat Ekuador harus antre panjang di bawah guyuran hujan lebat hanya untuk membayar listrik; warga kota Cocabamba harus membayar rekening air minum setelah Bank Dunia dan IMF pada 1991 mendesak Bolivia menjual sistem air minum ke Bechtel (perusahaan teknik raksasa asal Amerika); atau nasib perempuan peng-idap lepra yang tak memiliki akses terhadap kesehatan di pinggir sebuah sungai di Jakarta yang kotor.Bentuk konkret kembalinya nurani itu misalnya, Perkins kini lan-tang menyeru kepada warga bumi ini untuk kritis terhadap sepak terjang korporasi Amerika dan negara barat lainnya. Seruan itu mirip para pengkhotbah politik hijau, penyantun ekonomi lokal, penga-yom kemanusiaan dan penentang eksploitasi manusia.Tengoklah daftar seruannya (him. 443-445): Berbelanja dengan akal sehat. Jika ada sesuatu yang harus Anda miliki, belilah barang yang kemasan, bahan dasar dan metode produksinya berkelanjutan dan mendukung kehidupan. Lakukan protes menentang perjanjian perdagangan bebas dan pabrik pemeras keringat. Tulis surat untuk memberi tahu Monsanto, De Beers, ExxonMobil, Adidas, Ford, GE, Coca-Cola, Wal-Mart, serta peng-eksploitasi buruh dan perusak lingkungan lainnya mengapa Anda menolak membeli dari mereka.Daftar seruan—untuk tak menga-takan agenda— itu semakin panjang jika kita membuka situs pribadinya, www. JohnPerkins.com. Tepat di sini, saya mendapati bentuk perlawanan yang kurang otentik dari Perkins. la hanya mengulang sebuah gerakan politik yang disebut Ulrich Beck sebagai subpolitik. Langkah yang kelewat lemah di tengah supe-rioritas korporatokrasi dalam pergaulan global.Moh Samsul ArifinPraktisi pertelevisian
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar